Sunday, March 15, 2009

Arsene ... Ketika upaya fortifikasi menjadi sedikit lebay ...

Everything could happen the day we went to watch Java Jazz.
“Itu Top-Score?”
“Hmm.. ini Kompas.”
“Oh, saya kira Top Score.”
“Boleh saya lihat ?”
“Oh, maaf ini Kompas lama, hari Jumat kemarin.”

Tiba2 aku mengutuk kebiasaanku membawa2 pending Kompas ke mana2. Malu-maluin aja.
“Kamu mau ke mana ?”
“Senayan.”
“Kamu bisa berbahasa Inggris?”
“Nggak banyak.”
“Saya kira kamu bisa, karena di sana tulisan berbahasa inggris.”
“Hmm. Ini hanya jadual pertunjukan.”
Pandangannya bertanya. Aku memasukkan schedule java jazz ke dalam tasku. Hhh, males banget ngejelasinnya.
“Saya mau nonton java jazz.”
“Oh, kalau saya lebih suka Blues.”
“Kamu tinggal di sekitar sini ?”
Aku menyebutkan nama perumahan tempat aku tinggal.
“Saya belum pernah dengar.”
Hmm lagi. Plus senyum seadanya. What do you expect ?
Hening. Jadi nggak enak juga pasif mulu gini.
“Kamu dari mana ? Bahasa Indonesiamu cukup lancar.”
Bohong banget. Dari tadi aku harus pakai penuh kapasitas terpasang kupingku untuk menangkap bahasa Indonesianya yang patah-patah.
Dia tersenyum.
“Sudah satu tahun saya di Indonesia. Saya bermain untuk klub di Wamena. Tapi saya pulang pergi Jakarta-Wamena.”
“Saya tinggal di Perancis. Ibu saya dari Perancis, Ayah saya dari Kamerun.”
“Sudah berapa tahun bermain bola ?
“Umur saya ? 24 tahun.”
Selamat datang kesenjangan bahasa. Please deh. Siapa juga yang nanya umur.
“Sebelum di Indonesia, di mana ?”
“Singapore. Saya sempat main di Singapore.”
Hening lagi. Dia bergoyang-goyang mengikuti irama entah apa dari headset di telinganya.
“Pertunjukan musik itu, di Senayan ?”
“Yup.”
“Sudah menikah?”
“Yup.”
Bergoyang-goyang lagi.
“Maaf, tapi suami kamu biasa membiarkan kamu pergi sendirian ?”
Sungguh menyebalkan.
“Suami saya tidak tinggal satu kota. Saya bertemu teman di Senayan. Kami akan pergi bersama menonton pertunjukan itu.”
“Oh, I see.”
“Maaf, kalau saya jadi suami kamu, saya tidak akan membiarkan perempuan secantik kamu pergi sendirian. Perempuan itu seharusnya disayang..”
Buseeeet. Berapa menit sih kami bercakap-cakap ? Kok berani-beraninya mengkritik suami orang. Here we go. Aku bersiap-siap mendengar kalimat-kalimat yang menjurus, dan bersiap-siap memutuskan pembicaraan kalau dia mulai ga sopan atau masuk ke gombal session.
Aku ketawa garing. Tapi dia ga melanjutkan apa-apa. Ekspresi wajahnya datar2 aja. Beberapa lama kami tidak berkata-kata. Aku mengambil Kompas Jumat-ku dan mulai membacanya, tapi sebenarnya yang aku lakukan adalah mulai berpikir bahwa mungkin ungkapannya itu jujur (especially about 'cantik' tadi, alamaaak ... rada tersanjung juga nih aku wekekekek...). Dan budayanya membolehkan dia berbicara terbuka kepada siapa pun.
Ponselnya bergetar. Dia menerima panggilan dan berbicara tentang tiket pesawat, jadual dan semacamnya.
“Ini sekretaris klub kami. Saya sudah diminta pulang.”
“Bagaimana di Papua ? Biaya hidup mahal ya ?
Basa-basi banget.
“Kamu sering jalan-jalan ?”
Aku teringat seorang teman yang sekitar 15 tahun lalu mengajak ke Papua, yang dulu masih kami sebut Irian, untuk melihat keindahan alamnya yang mempesona.
“Dulu saya sempat ingin ke Papua. Tapi belum jadi sampai sekarang.”
“Saya tidak suka perjalanan ke sana. Lama sekali. Bisa 6 jam. Kalau cuaca bagus, tidak terlalu terasa. Kalau cuaca buruk, aarrrgh…”
Ia menirukan badan pesawat yang turun naik dengan tangannya.
“Mengerikan.”
“Kamu suka ke Bali ?”
“Hmm. Ya.”
“Bali mengingatkan saya pada kota asal saya di Perancis. Itu suatu daerah yang mirip sekali dengan Bali. Namanya ….”
Ia menyebut suatu nama yang asing di kuping. Dan well, aku juga ga tertarik untuk mengetahui lebih lanjut. Tapi sebagai respek ku, aku menggumamkannya kembali sambil mengangguk-angguk.
Ia menuliskan sesuatu di ponselnya. Kemudian menunjukkannya kepadaku sembari mengulang menyebut nama kota kesayangannya itu.
Cote d’Azur
. Hmm. aku mencoba melafalkan lagi walau aku tau ga ada kemajuan sama sekali dari gumamanku yang pertama. Hihi.
Kami mulai berbicara tentang kota tersebut, tentang karirnya di sepak bola.
Adventure seeker and curiousity about new things mode on.
“Boleh saya minta nomor telpon kamu ?”
Aku terkejut, tidak menyangka dengan permintaan itu.
Shit
. apa alasan untuk menolaknya ya.
Aku tertawa aneh. Dia terus menatapku serius sambil menggenggam ponselnya, bersiap menyimpan nomorku. Okay..okay… otakku berpikir cepat. Ga ada ruginya kasih dia nomor. Apa yang bisa dia lakukan dengan nomorku ? Paling2 teror via telepon yang aku sudah terbiasa menerimanya sejak masih imut2 dulu… hehe … Di benakku terlintas kriminalitas, sindikat perdagangan narkoba dll. Kemudian sikapnya yang santun dan kewajiban manusia Indonesia untuk bersikap ramah. Kemudian lagi, aku sebagai muslim yang tidak sepantasnya menolak permintaan seseorang untuk berteman.
“Saya missed call aja. berapa nomormu ?”
Dia menyebut nomornya. Aku menekan tombol2 di ponselku. Melakukan panggilan.
“Siapa namamu ? Namaku Arsene.”
“Yudhi.” Bahkan aku ga berniat menyamarkan namaku. Untuk apa.
Dia mengetikkan nama di ponselnya, memperlihatkannya kepadaku.
Judy
. Aku mengangguk. Nggak melakukan apa pun dengan ponselku.
“Sudah kamu simpan nama saya tadi ?”
Aku tersentak kaget. Mengangguk ragu. Hehe. Dia kembali mengetikkan sesuatu di ponselnya.
Arsene
. Aku mengangguk lagi. Tapi tetap ga melakukan apa pun.
Akhirnya kami berpisah.
Sepuluh menit kemudian.
From:
081511XXXXX
Subject:
Maaf ganggu. Tapi aku senang kenal sama kamu !
Date:
08/03/2009
Time:
2:20 pm
Hmm… dalam lima menit aku menimbang-nimbang untuk membalasnya atau tidak.
From:
081357XXXXXX
Subject:
Thx. It’s always fun 2 meet new people !
Date:
08/03/2009
Time:
2:30 pm

Tiga jam kemudian.
From:
081511XXXXX
Subject:
Sorry, masih di sana ?
Date:
08/03/2009
Time:
5:11 pm

Keesokan harinya.
From:
081511XXXXX
Subject:
Slmt pagi ! Bagaimana acara musik kemarin ?
Date:
09/03/2009
Time:
10:56 am

Tiga hari kemudian.
From:
081511XXXXX
Subject:
Slmt sore sorry ganggu. Tapi kamu baik2 saja ?
Date:
12/03/2009
Time:
6:22 pm

Arsene… Arsene … namanya mengingatkanku pada Arsenal, klub sepak bola Inggris. Aku ga pernah balas sms nya lagi. Cukup sudah aku membalas sms-nya yang pertama, sebagai tanda bahwa aku mengconfirmnya sebagai teman. Tapi sungguh, ada yang mengganjal di hatiku. Aku merasa seperti orang yang jahat, ge er, tidak bertangung jawab atas keputusanku memberi nomor telepon kepadanya. Padahal ga ada yang salah dengan isi sms nya. Dia hanya seorang teman. Ketika kita memilih untuk memulai sebuah pertemanan, maka ada konsekuensi yang kita tanggung untuk menjaganya, tidak melakukan sesuatu yang menyakiti perasaannya, tidak membuat ia merasa dicuekin, dilukai, dilecehkan, dijauhi, unwanted dan dibuang. Intinya memperlakukan teman dengan manusiawi. Apabila dengan orang yang tidak kita kenal saja, kita berusaha bersikap baik, maka seharusnya sikap itu lebih kita tunjukkan pada orang yang kita kenal (walau hanya dalam tempo kurang dari satu jam), apalagi kalau misalnya, dengan orang yang cukup dekat dalam waktu cukup lama. Ketika status sebagai perempuan yang menikah membuatku membangun benteng-benteng, melakukan fortifikasi terhadap kehidupan perkawinanku, maka aku seharusnya berhati2 agar itu ga jadi lebay, atau menjadi episentrum yang berdampak katastropik terhadap pertemananku dengan pihak lain, tentu saja tanpa meninggalkan respect thd pasangan, ya nggak ? Hmm… Déjà vu. Rasanya aku pernah diginiin sama seorang teman deh. Seakan ada disparitas di antara kami yang membuatku not deserve treated as a friend anymore. Dan ketika kita sadar telah diperlakukan dengan ga manusiawi, sedihnya ga terkatakan bo, banget bangeeeet …. But sometimes life is unfair, so get used to it …. Arsene… Arsene … maafkan aku…

No comments: