Monday, January 12, 2009

ratapan dari gaza...

"tujuan sharing tulisan ini, bukan karena aku seorang muslim. bukan mo mengutuk israel. bukan mo jadi pahlawan pembela palestine. bukan dalam kapasitas sebagai peacelover apalagi dalam rangka cari kawan utk daftar sebagai Relawan FPI. cuma pengen sharing, karena penulisnya, mohammed ali, adalah seorang AYAH, seperti jutaan ayah lain di muka bumi."
GAZA DIARY : APAKAH KAMI BUKAN MANUSIA ?

Sunday, Jan 11, 2009, 1:27:09 PM
Udara, laut dan daratan di Kota Gaza sekarang dikuasai oleh militer Israel. Mereka juga menjajah pikiran, syaraf dan telinga orang Gaza.
Dalam usaha untuk menghentikan anak-anak saya dari kerewelan, gemetar ketakutan saat terbangun setelah mendengar gelegar suara serangan Israel maupun di saat mereka terjaga, saya memasang kapas di telinga mereka – tapi hal itu tidak banyak membantu.
Saya khawatir terhadap perusakan yang sedang dilakukan terhadap hati mungil anak-anak saya. Mereka belum punya hati sebesar saya, mereka tak akan mampu mengatasi tekanan sebesar ini.
Kami kehabisan bahan bakar untuk generator, yang berarti bahwa kami yang berjumlah 11 orang harus berdesak-desakan di sebuah kamar kecil dengan sedikit cahaya selama tiga hari.
Kami juga tidak memiliki air. Air sumur kami hanya dapat diambil dengan pompa air yang butuh listrik. Sedangkan aliran listrik sudah mati di sebagian besar Gaza ketika serangan Israel dimulai.
Tidak seperti banyak keluarga lainnya, kami beruntung kemarin menemukan 20 liter bensin untuk generator listrik. Tidak ada pasokan bahan bakar sejak mulai terjadi serangan di Gaza, sehingga kami harus membayar tujuh kali lipat dari harga biasa.
Kami punya sisa makanan untuk satu hari dan popok yang saya beli dua minggu lalu hampir habis. Popok itu berkualitas rendah, karena hanya sedikit barang yang bisa masuk wilayah Gaza sejak di blokade 18 bulan silam. Popok berkualitas buruk tersebut mengalami kebocoran yang mengganggu. Beberapa hari terakhir si kecil juga harus mandi dengan air sedingin es.
Adik perempuan yang pernah saya tulis tinggal bersama saya, akhirnya memutuskan kembali ke rumahnya walaupun kami protes. Dia takut dengan menipisnya jumlah makanan yang tersisa, kami akan makan satu kali sehari. Bukan lagi makan dua kali sehari seperti yang akhir-akhir ini kami lakukan. Di rumahnya dia memiliki sedikit makanan, cukup untuk kebutuhan dirinya dan keluarganya untuk sementara waktu.
Kami sekarang berjumlah 11 orang, meringkuk bersama-sama di ruang makan orangtua saya. Saudara laki-laki saya, saya dan keluarga kami pindah ke sini. Kami berpikir bahwa lantai pertama rumah ini mungkin merupakan pilihan paling aman.
Ada pepatah dalam bahasa Arab yang mengatakan "kematian dalam kelompok adalah rahmat". Saya mengira jika kami mati bersama-sama mungkin, hanya mungkin, kami akan merasa kurang sakit dibandingkan mati sendirian.
Saya tidur 8 jam sejak awal terjadinya konflik ini, kami dapat mendengar serangan hampir setiap menit.
Saya berpikir, jika salah satu dari kami terluka atau membutuhkan bantuan medis, apa yang akan terjadi? Ambulans menemukan kesulitan untuk mencapai orang-orang sipil, jalan yang terblokir oleh puing-puing, pasukan Israel ada di rutenya - Anda dapat terluka bahkan bisa mati.
Seandainya Ambulans bisa mencapai kami, mungkin kami akan di bom dalam perjalanan menuju ke rumah sakit. Jika kami bisa sampai ke rumah sakit, mungkin tidak tersedia lagi ruangan untuk merawat kami – hanya ada sedikit obat-obatan, sedikit peralatan dan sedikit listrik yang dipergunakan untuk menjalankan peralatan life-saving. Bahkan kami tidak dapat keluar dari Gaza untuk perawatan life-saving yang kami diperlukan.
Sekarang rumah sakit mengandalkan generator cadangan yang membuat hidup lebih sulit bagi para dokter yang berusaha untuk menanggulangi arus masuk pasien dari orang-orang yang terluka. Jika bahan bakar untuk generator habis, pasien-pasien yang bergantung pada peralatan life-saving akan tewas.
Hari ini aku mendengar seorang wanita menelepon ke stasiun radio - layanan ambulan tidak dapat mencapai dirinya dan saya kira dia berpikir stasiun radio mungkin bisa melakukan sesuatu. Dia meratap di telepon "Rumah kami terbakar, anak-anak saya sekarat, bantu saya". Saya tidak tahu apa yang terjadi dengan wanita dan anak-anaknya tersebut – Saya tidak mau membayangkan.
Saya menghabiskan banyak waktu untuk berpikir bahwa saat ini bisa jadi adalah jam terakhir keberadaan saya di dunia.
Ketika saya mencoba untuk tidur, saya mendengar di radio jumlah orang yang telah meninggal meningkat dari jam ke jam. Saya ingin tahu jika besok pagi, saya akan menjadi salah satu dari tubuh yang dihitung, bagian dari breaking news.
Bagi semua orang yang menonton kematian dan kerusakan di Gaza, saya hanyalah tambahan angka korban Atau mungkin karena saya bekerja untuk Oxfam maka berarti saya adalah sebuah nama dan bukan sekedar tambahan jumlah angka korban. Saya mungkin akan dibicarakan selama satu menit dan beberapa saat kemudian dilupakan, seperti semua korban lain yang telah tewas.
Saya tidak takut mati - saya tahu bahwa suatu hari kita semua akan mati. Tapi tidak seperti ini. Tidak duduk diam di rumah saya dengan anak-anak di lengan saya seraya menunggu kehidupan kami yang akan diambil. Aku jijik oleh ketidakadilan ini.
Apakah masyarakat internasional menunggu - untuk melihat lebih banyak orang dan keluarga terhapus sebelum bertindak? Waktu terus berjalan, jumlah orang yang mati dan terluka terus bertambah. Apa yang mereka tunggu?
Apa yang terjadi di Gaza bertentangan dengan kemanusiaan. Apakah kami bukan manusia?Mohammed Ali, penduduk Gaza yang bekerja di bidang advocacy and media researcher untuk Oxfam. (translated by undhyl)

No comments: