Yth. Pak SBY, saya adalah seorang ibu berusia 35 tahun yang bekerja di sebuah bank pemerintah. Terlalu muluk bagi saya untuk ikut memikirkan bangsa dan negara kita. Tetapi di penghujung tahun 2006 ini, entah kenapa saya benar-benar ingin mencurahkan isi hati dan keprihatinan saya sebagai warga negara Indonesia . Tidak tahu saya, apalagi yang bisa saya banggakan dari bangsa kita. Persada yang indah dengan kekayaan alam yang melimpah? Penduduk yang ramah dan murah senyum? Bah! Di negara lain banyak tempat yang walaupun mungkin kalah indah namun jauh lebih terawat, penduduknya walaupun tidak suka senyum tetapi gemar menolong tanpa ekspektasi apa pun kecuali rasa tulus. Memang betul, siapalah saya? Tetapi hanya duduk manis membiarkan semua terjadi tanpa kontribusi apa-apa, rasanya gerah juga. Apalagi dalam agama saya diajarkan, do something. Paling bagus dengan perbuatan, kalau tidak berani dengan ucapan, atau minimal dengan doa dalam hati.
Semua orang mengeluh malu karena Indonesia dalam daftar negara paling korup selalu menempati peringkat atas. Kurang jelas bagi saya kriteria apa yang digunakan masing-masing lembaga pemeringkat tersebut, namun yang muncul dalam benak rata-rata orang setiap kali membicarakan topik ini pasti tudingan kepada pejabat penyelenggara pemerintahan. Benarkah? Corrupt dalam bahasa Inggris diartikan sebagai kecurangan, penyalahgunaan, perbuatan yang jahat, buruk, rusak. Jadi, bukan hanya pejabat ‘ kan , yang bisa korup. Warga negara biasa pun bisa korup. Apa jadinya kalau hampir seluruh warga negara kita berbuat korup dalam kesehariannya? That’s it. Masyarakat yang korup. Dan ini, percaya atau tidak, luar biasa mengerikan. Kata orang bijak, jangan menuding orang lain, tuding dulu diri kita sendiri.. Saya tidak akan memotret masalah yang rumit-rumit Pak, sebab saya tahu Bapak sudah punya pembantu yang digaji tinggi untuk memeras otak memikirkan solusi yang breaking through. Saya ajak Bapak melihat beberapa potret kehidupan di sekeliling kita, dari kacamata saya sebagai seorang ibu.
Setiap pulang sekolah saya periksa apa yang dipelajari anak saya yang duduk di kelas dua sekolah dasar negeri. Kebanyakan hanya menyalin dari buku cetak, atau menyalin dari papan tulis. Mau jadi apa anak-anak kita? Sangat jarang kita temui guru yang meresapi apa sebenarnya tujuan kurikulum yang telah ditetapkan dan bertanggung jawab akan hasil didikannya. Tidak bisa disalahkan, karena dengan penghasilan minim, mereka harus menghemat energi untuk mengajar di lebih dari satu sekolah. Perkecualian bagi sekolah swasta favorit yang uang masuknya saja membuat mulut ternganga. Memang benar, ada harga, ada rupa. Di mana-mana, kemudahan hanya milik orang berpunya. Ini baru di sekolah dasar. Pikiran saya lantas menerawang pada kejadian satu dasawarsa lampau, setelah menyelesaikan Strata 2 dan baru satu tahun bekerja, dua kali saya mendapat surat penawaran dari sebuah lembaga. Yang pertama untuk mendapat gelar Doktor dengan bimbingan selama 3 bulan saja dan menyetor biaya tidak lebih dari Rp 3 juta. Yang kedua, more surprising, “penganugrahan gelar Doctoris Honoris Causa atas kiprah dan pengabdian dalam pembangunan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat” hanya dengan kontribusi minimal Rp 1 juta di sebuah hotel berbintang di Jakarta. So sweet. Saat itu selama berminggu-minggu saya menebak-nebak apa yang telah saya lakukan untuk “membangun perekonomian dan kesejahteraan masyarakat” dalam jangka waktu kurang dari satu tahun sehingga berhak menyandang gelar yang sangat terhormat tersebut? Saya kira praktek-praktek seperti yang dilakukan lembaga ini, berdagang gelar, sampai saat ini masih ada. Dan bagi para status seekers yang menganut budaya instant serta merasa pencantuman gelar di kartu namanya akan membawa prestige effect, tawaran dari lembaga-lembaga seperti saya sebutkan tadi bagaikan opportunity knocks on their door.
Sekali lagi, sekarang apa sih yang priceless? Money can buy everything. Praktek Dokter yang laris pasti perawat yang mengatur antrian pasien-nya galak. Tapi selalu saja ada pasien yang baru mengantri tiba-tiba sudah dilayani terlebih dahulu plus senyuman manis dari si perawat karena sebelumnya kasak-kusuk sambil tangannya terampil memasukkan lembaran I Gusti Ngurah Rai ke saku seragam putih yang dibuat besar-besar. Ini sekaligus menggambarkan budaya antri kita yang payah banget! Di tempat umum mana pun di Indonesia, mengantri bergerombol untuk kemudian tiba-tiba membuat line baru sudah hal biasa. Atau bagi yang wanita tersenyum-senyum innocent kemudian menyelip dalam barisan terdepan. Budaya antri kita ini sama payahnya dengan budaya bersih dan budaya me-maintain fasilitas umum. Toilet umum, halte bis, terminal, stasiun kereta api, jembatan penyeberangan, taman kota , pasar, hanya terawat pada triwulan pertama setelah pembangunannya. Selanjutnya sudah dapat ditebak nasibnya.
Sedih! Hanya itu yang bisa menggambarkan perasaan saya sebagai seorang ibu. Saat anak-anak saya masih kecil seperti sekarang, atmosphere di mana mereka tumbuh sudah sedemikian rusak. Bagaimana dengan lima , sepuluh, lima belas, dua puluh tahun mendatang pada saat mereka harus menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab terhadap keluarganya kelak?
Saya yakin, urusan politik, ekonomi, sosial, budaya, kita punya pakar-pakarnya! Kita tidak lebih bodoh dari bangsa lain di negara maju. Kalau bangsa lain bisa, kenapa kita tidak? Namun jangan jauh-jauh, satu hal kecil yang harus dibenahi, hilangkan perilaku korup dalam segala bentuknya. Bukan hanya oleh pejabat tetapi seluruh warga negara. Dan itu harus mendapat prioritas, S-E-G-E-R-A. Mungkin saking tingginya stadium penyakit kebejatan mental kita karena bertahun-tahun tidak diobati, kalau perlu dilakukan melalui shock therapy, why not? Dapat dipastikan pada awalnya akan berjatuhan korban-korban yang tak mungkin tak berdosa alias memang sudah sepantasnya mendapat punishment.
Memang tidak mudah dan banyak kendala besar yang menghadang. Sanggupkah kita satu suara, menyatukan tekad untuk menegakkan komitmen pemberantasan perilaku korup dalam kehidupan masyarakat, selama-lamanya? Wah, ini yang saya tidak bisa jamin. Sebab orang Indonesia , Pak SBY, benar-benar hebat dalam urusan mengingkari komitmen. Jadi segala kebijakan benar-benar tidak boleh hangat-hangat tahi ayam. Bahkan mungkin lebih mengena bila secara gradual segala bentuk sanksi terhadap pelanggaran aturan ditingkatkan. Misalnya untuk pelanggaran peraturan lalin penggunaan safety belt pada kendaraan Bukan dalam tahun pertama denda pelanggaran Rp 1 juta kemudian tahun berikutnya semua menjadi “tahu sama tahu”. Tetapi diawali dengan denda Rp 100 ribu dan terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya hingga dianggap efektif. Saya tahu hanya segelintir orang - but thank god ternyata masih ada – yang mengamini saya. Buktinya masih ada anggota DPR yang mengembalikan pembagian uang yang mereka anggap bukan haknya. Namun tak urung sering saya bertanya-tanya, ada berapa banyak orang seperti itu? Satu banding sepuluh? Non-sense. Satu banding seratus? Atau satu banding seribu? Karena kata orang, dalam komunitas orang-orang gila, orang yang waras malah dianggap gila.
Contoh kecilnya, Ibu saya sendiri yang sudha lansia masih selalu memberi “uang terima kasih di muka” untuk petugas kesehatan setiap kali kontrol ke rumah sakit umum dengan fasilitas Askes agar dapat “menyalip” pada antrian yang panjang. Hari gini….. komentar ibu saya, kalau kita tidak ikut arus yang mati sendiri. Nah, susah kalau sudah begini. Persis di depan kantor tempat saya bekerja terdapat areal trotoar yang pada sore hingga malam hari digunakan oleh pedagang kaki lima untuk berjualan makanan. Pada siang hari sangat jelas mencolok mata bergelantungan kabel-kabel milik mereka dari kabel tiang listrik resmi di depan kantor. Mencuri listrik? Mau bagaimana lagi? Hitungannya lebih murah menyuap oknum daripada membayar listrik secara resmi ke negara. Pedagang satu bisa jual murah karena bisa meminimalkan cost, masa pedagang lain tidak ikut? Yang saya takutkan sebagai seorang istri, setelah Aa Gym dan Pak Zaenal Ma’arif, jangan-jangan fenomena poligami nantinya juga akan mengarah ke sana . Apabila kesalahan dilakukan rame-rame, tidak ada lagi budaya malu melakukannya.
Kalau begitu, Pak SBY, kita cari penyebabnya. Orang-orang mengais rezeki dengan jalan tidak halal, karena anak istrinya di rumah menjerit-jerit kelaparan. Setiap hari dalam perjalanan berangkat dan pulang kantor saya tangkap wajah-wajah lelah yang merenung sedih. Tukang beca di pinggir jalan, pedagang rokok kaki lima , penjual koran di lampu merah, melamun memikirkan cara memperoleh uang sekolah anaknya, atau hutang kebutuhan pokok yang semakin membangkak tanpa mereka punya bayangan harus membayar dengan apa. They have their reasons, Pak. Semuanya bermuara pada rendahnya tingkat kesejahteraan. Tidak cukup lapangan pekerjaan yang tersedia untuk mereka. Bahkan upah bagi yang sudah bekerja pun tidak mencukupi kebutuhan mendasar setiap bulannya. Lalu salahkah mereka jika kemudian mencari makan dengan cara yang korup, demi menyambung nafas hidup keluarganya? Pusing ya Pak. Seperti memperdebatkan telur dulu atau ayam dulu. Dituntut untuk berperilaku tidak korup, nyatanya kebutuhan perut lebih mendesak. Sedang untuk meningkatkan kesejahteraan, semua harus berawal dari perilaku yang tidak korup. Sementara itu dari laporan media ternyata tingkat pertumbuhan/kelahiran di Indonesia kembali menunjukkan peningkatan. Terlalu banyak penduduk, terlalu banyak mulut yang membutuhkan suapan nasi. “Syukurlah” Pak, orang Indonesia amat sangat kreatif. And they did pretty well this far. Apapun bisa menjadi uang. Di pintu keluar tol Porong pasca musibah Lapindo, Bapak bisa temukan banyak Ayah-ayah yang menawarkan jasa menjadi petunjuk jalan melalui jalur alternatif agar tidak terjebak macet (Sengaja saya sebut Ayah supaya Bapak ingat mereka berbuat begitu untuk bisa pulang ke anaknya di rumah dengan membawa uang). Di kantor polisi untuk mengurus perpanjangan SIM, calo-calo bukan hanya melayani bantuan perpanjangan SIM namun juga pembuatan KTP palsu seharga Rp 75.000,- Mereka punya captive market karena orang pun malas berlama-lama mengurus perpanjangan SIM karena prosedurnya yang sengaja dibuat berbelit-belit. Saya jadi ingat sewaktu berwisata ke Uluwatu, Bali , di mana seekor monyet yang berkeliaran di sekitar pura merampas kacamata suami saya dan membawanya lari dari pohon ke pohon. Setelah diberi kacang, dia tidak mengembalikan kacamata tersebut kepada suami saya namun kacamata tersebut berpindah tangan dari satu monyet ke monyet lain sehingga akhirnya satu kelompok monyet tersebut kebagian kacang semua. Inilah solidaritas berbagi rezeki ala monyet. Apakah di kantor polisi ada juga solidaritas semacam itu? Ups. I didn’t say any words!
Lalu bagaimana dengan pejabat yang korup atau sering dijuluki oknum? Yang hidupnya sudah jauh berkecukupan namun masih saja mencari celah mendapatkan fulus bahkan dengan menindas orang lain. Politikus, pengusaha, LSM, bullshit kalau mereka bilang mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi. Karena manusia Pak, jauh di lubuk hatinya punya sifat dasar tamak. Coba tanyakan pada rakyat biasa untuk dijawab dengan jujur. Seandainya menjadi anggota DPR dan ditawari studi banding beramai-ramai ke luar negeri, apakah mereka yakin akan menolak? You’ll miss out a lot of fun …. Masyarakat bisa menuding pejabat karena mereka tidak punya peluang berbuat korup. Intinya, seandainya ada peluang, kalau hanya bermain korup kecil-kecilan saja, masa sih tidak mau? Jadi kalau yang satu ini saya rasa kita harus kembali ke hati nurani dan pertimbangan moral menurut ajaran agama masing-masing.
Mungkin banyak yang mencibir dan menganggap saya terlalu berlebihan. Namun masyarakat yang berperilaku korup ini, menurut saya merupakan sumber dari segala carut-marut persoalan bangsa kita, sejak bertahun-tahun, sampai saat ini, dan apabila tidak ada seorangpun yang peduli, akan berlangsung terus hingga tahun-tahun ke depan. Menggerogoti asset serta competitive advantage yang kita miliki. Musibah bencana alam di mana-mana di seluruh penjuru tanah air. Apakah murni kehendak Tuhan bukan campur tangan-tangan kotor kita yang berperilaku korup terhadap alam?
Namun sayangnya, sungguh mati saya sendiri tidak tahu dari mana kita harus mulai berbenah. That’s the way we’ve been brought up. Sekali lagi siapalah saya, yang memohon agar semua saudara setanah air mengubah kebiasaan dan perilakunya? Oleh karena itu Pak SBY, saya hanya bisa berharap, there is somebody who’s got power, memulainya. Kalau yang sudah bangkotan ini sulit disulap untuk terlahir kembali atau cuci otak menjadi seorang warga negara yang bersih dari tingkah laku korup, maka tolong Pak SBY, selamatkan generasi mendatang kita. Tidak main-main, untuk yang satu ini dibutuhkan modal ekstra besar. Energi. Keberanian. Kerja keras. Optimistik. Serta yang terpenting, seseorang yang memulainya dan komitmen bersama. Kalau bangsa lain bisa, kenapa kita tidak? Salah satu alasan mengapa saya tulis surat ini untuk Pak SBY adalah, karena “Bersama Kita Bisa” menjadi satu kalimat sakti yang Bapak yakini dan saya percayai pada Pemilu lalu. Kepada siapa lagi saya harus curhat? Apakah kepada Tuhan seperti yang dilakukan aktivis lingkungan di Malang beberapa waktu lalu?
Saya jamin apabila pembenahan dari hal-hal sepele ini sudah berjalan, niscaya seluruh sektor lainnya akan mengikuti. A small move, for a big step forward. Well, tentu saja it takes time. Tapi kalau tidak dimulai, kapan kita akan mencapai semua impian kita? It’s about time. Sementara negara-negara lain sudah berpacu untuk menjadi yang terbaik, kita bukan hanya tertinggal nun di belakang tetapi bahkan tidak memenuhi kualifikasi untuk ikut berpacu. Sumber daya manusia yang tidak korup kuncinya. Sebab assets make things possible, people makes things happen.Entah di tahun berapa, pada kepemimpinan presiden siapa, saya akan terbangun di pagi hari dan bersyukur dengan sepenuh hati bahwa saya adalah manusia Indonesia . At least I still have that dream, Sir. Mudah-mudahan tidak menjadi mimpi yang berkepanjangan tanpa realisasi. Cape deh ! Tapi jangan kuatir Pak, saya tahu betul penonton sepak bola sering jauh lebih pintar (komentar) dari pemainnya. Didera begitu banyak persoalan bangsa, saya berdoa Bapak tetap sabar dan diberi kekuatan. Dengan beragam masalah dan mental SDM yang sedemikan bobroknya, Presiden Indonesia , siapa pun orangnya, menanggung pekerjaan terberat di dunia. I’ll stand by you.
Semua orang mengeluh malu karena Indonesia dalam daftar negara paling korup selalu menempati peringkat atas. Kurang jelas bagi saya kriteria apa yang digunakan masing-masing lembaga pemeringkat tersebut, namun yang muncul dalam benak rata-rata orang setiap kali membicarakan topik ini pasti tudingan kepada pejabat penyelenggara pemerintahan. Benarkah? Corrupt dalam bahasa Inggris diartikan sebagai kecurangan, penyalahgunaan, perbuatan yang jahat, buruk, rusak. Jadi, bukan hanya pejabat ‘ kan , yang bisa korup. Warga negara biasa pun bisa korup. Apa jadinya kalau hampir seluruh warga negara kita berbuat korup dalam kesehariannya? That’s it. Masyarakat yang korup. Dan ini, percaya atau tidak, luar biasa mengerikan. Kata orang bijak, jangan menuding orang lain, tuding dulu diri kita sendiri.. Saya tidak akan memotret masalah yang rumit-rumit Pak, sebab saya tahu Bapak sudah punya pembantu yang digaji tinggi untuk memeras otak memikirkan solusi yang breaking through. Saya ajak Bapak melihat beberapa potret kehidupan di sekeliling kita, dari kacamata saya sebagai seorang ibu.
Setiap pulang sekolah saya periksa apa yang dipelajari anak saya yang duduk di kelas dua sekolah dasar negeri. Kebanyakan hanya menyalin dari buku cetak, atau menyalin dari papan tulis. Mau jadi apa anak-anak kita? Sangat jarang kita temui guru yang meresapi apa sebenarnya tujuan kurikulum yang telah ditetapkan dan bertanggung jawab akan hasil didikannya. Tidak bisa disalahkan, karena dengan penghasilan minim, mereka harus menghemat energi untuk mengajar di lebih dari satu sekolah. Perkecualian bagi sekolah swasta favorit yang uang masuknya saja membuat mulut ternganga. Memang benar, ada harga, ada rupa. Di mana-mana, kemudahan hanya milik orang berpunya. Ini baru di sekolah dasar. Pikiran saya lantas menerawang pada kejadian satu dasawarsa lampau, setelah menyelesaikan Strata 2 dan baru satu tahun bekerja, dua kali saya mendapat surat penawaran dari sebuah lembaga. Yang pertama untuk mendapat gelar Doktor dengan bimbingan selama 3 bulan saja dan menyetor biaya tidak lebih dari Rp 3 juta. Yang kedua, more surprising, “penganugrahan gelar Doctoris Honoris Causa atas kiprah dan pengabdian dalam pembangunan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat” hanya dengan kontribusi minimal Rp 1 juta di sebuah hotel berbintang di Jakarta. So sweet. Saat itu selama berminggu-minggu saya menebak-nebak apa yang telah saya lakukan untuk “membangun perekonomian dan kesejahteraan masyarakat” dalam jangka waktu kurang dari satu tahun sehingga berhak menyandang gelar yang sangat terhormat tersebut? Saya kira praktek-praktek seperti yang dilakukan lembaga ini, berdagang gelar, sampai saat ini masih ada. Dan bagi para status seekers yang menganut budaya instant serta merasa pencantuman gelar di kartu namanya akan membawa prestige effect, tawaran dari lembaga-lembaga seperti saya sebutkan tadi bagaikan opportunity knocks on their door.
Sekali lagi, sekarang apa sih yang priceless? Money can buy everything. Praktek Dokter yang laris pasti perawat yang mengatur antrian pasien-nya galak. Tapi selalu saja ada pasien yang baru mengantri tiba-tiba sudah dilayani terlebih dahulu plus senyuman manis dari si perawat karena sebelumnya kasak-kusuk sambil tangannya terampil memasukkan lembaran I Gusti Ngurah Rai ke saku seragam putih yang dibuat besar-besar. Ini sekaligus menggambarkan budaya antri kita yang payah banget! Di tempat umum mana pun di Indonesia, mengantri bergerombol untuk kemudian tiba-tiba membuat line baru sudah hal biasa. Atau bagi yang wanita tersenyum-senyum innocent kemudian menyelip dalam barisan terdepan. Budaya antri kita ini sama payahnya dengan budaya bersih dan budaya me-maintain fasilitas umum. Toilet umum, halte bis, terminal, stasiun kereta api, jembatan penyeberangan, taman kota , pasar, hanya terawat pada triwulan pertama setelah pembangunannya. Selanjutnya sudah dapat ditebak nasibnya.
Sedih! Hanya itu yang bisa menggambarkan perasaan saya sebagai seorang ibu. Saat anak-anak saya masih kecil seperti sekarang, atmosphere di mana mereka tumbuh sudah sedemikian rusak. Bagaimana dengan lima , sepuluh, lima belas, dua puluh tahun mendatang pada saat mereka harus menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab terhadap keluarganya kelak?
Saya yakin, urusan politik, ekonomi, sosial, budaya, kita punya pakar-pakarnya! Kita tidak lebih bodoh dari bangsa lain di negara maju. Kalau bangsa lain bisa, kenapa kita tidak? Namun jangan jauh-jauh, satu hal kecil yang harus dibenahi, hilangkan perilaku korup dalam segala bentuknya. Bukan hanya oleh pejabat tetapi seluruh warga negara. Dan itu harus mendapat prioritas, S-E-G-E-R-A. Mungkin saking tingginya stadium penyakit kebejatan mental kita karena bertahun-tahun tidak diobati, kalau perlu dilakukan melalui shock therapy, why not? Dapat dipastikan pada awalnya akan berjatuhan korban-korban yang tak mungkin tak berdosa alias memang sudah sepantasnya mendapat punishment.
Memang tidak mudah dan banyak kendala besar yang menghadang. Sanggupkah kita satu suara, menyatukan tekad untuk menegakkan komitmen pemberantasan perilaku korup dalam kehidupan masyarakat, selama-lamanya? Wah, ini yang saya tidak bisa jamin. Sebab orang Indonesia , Pak SBY, benar-benar hebat dalam urusan mengingkari komitmen. Jadi segala kebijakan benar-benar tidak boleh hangat-hangat tahi ayam. Bahkan mungkin lebih mengena bila secara gradual segala bentuk sanksi terhadap pelanggaran aturan ditingkatkan. Misalnya untuk pelanggaran peraturan lalin penggunaan safety belt pada kendaraan Bukan dalam tahun pertama denda pelanggaran Rp 1 juta kemudian tahun berikutnya semua menjadi “tahu sama tahu”. Tetapi diawali dengan denda Rp 100 ribu dan terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya hingga dianggap efektif. Saya tahu hanya segelintir orang - but thank god ternyata masih ada – yang mengamini saya. Buktinya masih ada anggota DPR yang mengembalikan pembagian uang yang mereka anggap bukan haknya. Namun tak urung sering saya bertanya-tanya, ada berapa banyak orang seperti itu? Satu banding sepuluh? Non-sense. Satu banding seratus? Atau satu banding seribu? Karena kata orang, dalam komunitas orang-orang gila, orang yang waras malah dianggap gila.
Contoh kecilnya, Ibu saya sendiri yang sudha lansia masih selalu memberi “uang terima kasih di muka” untuk petugas kesehatan setiap kali kontrol ke rumah sakit umum dengan fasilitas Askes agar dapat “menyalip” pada antrian yang panjang. Hari gini….. komentar ibu saya, kalau kita tidak ikut arus yang mati sendiri. Nah, susah kalau sudah begini. Persis di depan kantor tempat saya bekerja terdapat areal trotoar yang pada sore hingga malam hari digunakan oleh pedagang kaki lima untuk berjualan makanan. Pada siang hari sangat jelas mencolok mata bergelantungan kabel-kabel milik mereka dari kabel tiang listrik resmi di depan kantor. Mencuri listrik? Mau bagaimana lagi? Hitungannya lebih murah menyuap oknum daripada membayar listrik secara resmi ke negara. Pedagang satu bisa jual murah karena bisa meminimalkan cost, masa pedagang lain tidak ikut? Yang saya takutkan sebagai seorang istri, setelah Aa Gym dan Pak Zaenal Ma’arif, jangan-jangan fenomena poligami nantinya juga akan mengarah ke sana . Apabila kesalahan dilakukan rame-rame, tidak ada lagi budaya malu melakukannya.
Kalau begitu, Pak SBY, kita cari penyebabnya. Orang-orang mengais rezeki dengan jalan tidak halal, karena anak istrinya di rumah menjerit-jerit kelaparan. Setiap hari dalam perjalanan berangkat dan pulang kantor saya tangkap wajah-wajah lelah yang merenung sedih. Tukang beca di pinggir jalan, pedagang rokok kaki lima , penjual koran di lampu merah, melamun memikirkan cara memperoleh uang sekolah anaknya, atau hutang kebutuhan pokok yang semakin membangkak tanpa mereka punya bayangan harus membayar dengan apa. They have their reasons, Pak. Semuanya bermuara pada rendahnya tingkat kesejahteraan. Tidak cukup lapangan pekerjaan yang tersedia untuk mereka. Bahkan upah bagi yang sudah bekerja pun tidak mencukupi kebutuhan mendasar setiap bulannya. Lalu salahkah mereka jika kemudian mencari makan dengan cara yang korup, demi menyambung nafas hidup keluarganya? Pusing ya Pak. Seperti memperdebatkan telur dulu atau ayam dulu. Dituntut untuk berperilaku tidak korup, nyatanya kebutuhan perut lebih mendesak. Sedang untuk meningkatkan kesejahteraan, semua harus berawal dari perilaku yang tidak korup. Sementara itu dari laporan media ternyata tingkat pertumbuhan/kelahiran di Indonesia kembali menunjukkan peningkatan. Terlalu banyak penduduk, terlalu banyak mulut yang membutuhkan suapan nasi. “Syukurlah” Pak, orang Indonesia amat sangat kreatif. And they did pretty well this far. Apapun bisa menjadi uang. Di pintu keluar tol Porong pasca musibah Lapindo, Bapak bisa temukan banyak Ayah-ayah yang menawarkan jasa menjadi petunjuk jalan melalui jalur alternatif agar tidak terjebak macet (Sengaja saya sebut Ayah supaya Bapak ingat mereka berbuat begitu untuk bisa pulang ke anaknya di rumah dengan membawa uang). Di kantor polisi untuk mengurus perpanjangan SIM, calo-calo bukan hanya melayani bantuan perpanjangan SIM namun juga pembuatan KTP palsu seharga Rp 75.000,- Mereka punya captive market karena orang pun malas berlama-lama mengurus perpanjangan SIM karena prosedurnya yang sengaja dibuat berbelit-belit. Saya jadi ingat sewaktu berwisata ke Uluwatu, Bali , di mana seekor monyet yang berkeliaran di sekitar pura merampas kacamata suami saya dan membawanya lari dari pohon ke pohon. Setelah diberi kacang, dia tidak mengembalikan kacamata tersebut kepada suami saya namun kacamata tersebut berpindah tangan dari satu monyet ke monyet lain sehingga akhirnya satu kelompok monyet tersebut kebagian kacang semua. Inilah solidaritas berbagi rezeki ala monyet. Apakah di kantor polisi ada juga solidaritas semacam itu? Ups. I didn’t say any words!
Lalu bagaimana dengan pejabat yang korup atau sering dijuluki oknum? Yang hidupnya sudah jauh berkecukupan namun masih saja mencari celah mendapatkan fulus bahkan dengan menindas orang lain. Politikus, pengusaha, LSM, bullshit kalau mereka bilang mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi. Karena manusia Pak, jauh di lubuk hatinya punya sifat dasar tamak. Coba tanyakan pada rakyat biasa untuk dijawab dengan jujur. Seandainya menjadi anggota DPR dan ditawari studi banding beramai-ramai ke luar negeri, apakah mereka yakin akan menolak? You’ll miss out a lot of fun …. Masyarakat bisa menuding pejabat karena mereka tidak punya peluang berbuat korup. Intinya, seandainya ada peluang, kalau hanya bermain korup kecil-kecilan saja, masa sih tidak mau? Jadi kalau yang satu ini saya rasa kita harus kembali ke hati nurani dan pertimbangan moral menurut ajaran agama masing-masing.
Mungkin banyak yang mencibir dan menganggap saya terlalu berlebihan. Namun masyarakat yang berperilaku korup ini, menurut saya merupakan sumber dari segala carut-marut persoalan bangsa kita, sejak bertahun-tahun, sampai saat ini, dan apabila tidak ada seorangpun yang peduli, akan berlangsung terus hingga tahun-tahun ke depan. Menggerogoti asset serta competitive advantage yang kita miliki. Musibah bencana alam di mana-mana di seluruh penjuru tanah air. Apakah murni kehendak Tuhan bukan campur tangan-tangan kotor kita yang berperilaku korup terhadap alam?
Namun sayangnya, sungguh mati saya sendiri tidak tahu dari mana kita harus mulai berbenah. That’s the way we’ve been brought up. Sekali lagi siapalah saya, yang memohon agar semua saudara setanah air mengubah kebiasaan dan perilakunya? Oleh karena itu Pak SBY, saya hanya bisa berharap, there is somebody who’s got power, memulainya. Kalau yang sudah bangkotan ini sulit disulap untuk terlahir kembali atau cuci otak menjadi seorang warga negara yang bersih dari tingkah laku korup, maka tolong Pak SBY, selamatkan generasi mendatang kita. Tidak main-main, untuk yang satu ini dibutuhkan modal ekstra besar. Energi. Keberanian. Kerja keras. Optimistik. Serta yang terpenting, seseorang yang memulainya dan komitmen bersama. Kalau bangsa lain bisa, kenapa kita tidak? Salah satu alasan mengapa saya tulis surat ini untuk Pak SBY adalah, karena “Bersama Kita Bisa” menjadi satu kalimat sakti yang Bapak yakini dan saya percayai pada Pemilu lalu. Kepada siapa lagi saya harus curhat? Apakah kepada Tuhan seperti yang dilakukan aktivis lingkungan di Malang beberapa waktu lalu?
Saya jamin apabila pembenahan dari hal-hal sepele ini sudah berjalan, niscaya seluruh sektor lainnya akan mengikuti. A small move, for a big step forward. Well, tentu saja it takes time. Tapi kalau tidak dimulai, kapan kita akan mencapai semua impian kita? It’s about time. Sementara negara-negara lain sudah berpacu untuk menjadi yang terbaik, kita bukan hanya tertinggal nun di belakang tetapi bahkan tidak memenuhi kualifikasi untuk ikut berpacu. Sumber daya manusia yang tidak korup kuncinya. Sebab assets make things possible, people makes things happen.Entah di tahun berapa, pada kepemimpinan presiden siapa, saya akan terbangun di pagi hari dan bersyukur dengan sepenuh hati bahwa saya adalah manusia Indonesia . At least I still have that dream, Sir. Mudah-mudahan tidak menjadi mimpi yang berkepanjangan tanpa realisasi. Cape deh ! Tapi jangan kuatir Pak, saya tahu betul penonton sepak bola sering jauh lebih pintar (komentar) dari pemainnya. Didera begitu banyak persoalan bangsa, saya berdoa Bapak tetap sabar dan diberi kekuatan. Dengan beragam masalah dan mental SDM yang sedemikan bobroknya, Presiden Indonesia , siapa pun orangnya, menanggung pekerjaan terberat di dunia. I’ll stand by you.
No comments:
Post a Comment