Setiap Sabtu ada sebuah pagi yang indah. Melawan malas, menyesali jam tidur yang terlalu banyak tadi malam, memaki setan2 kecil bertanduk yang terbang menari-nari membisikkan mantra di dekat telingaku dan telah membatalkan niat muliaku sholat Tahajud, berkelahi dengan keinginan berlama-lama membaca pending Kompas Jumat, putus asa menghitung jumlah artikel menarik yang belom kebaca sementara jarum pendek jam dinding rasanya makin cepat aja menggeser tubuhnya yang ramping mendekati angka enam, berupaya enggak terpaku di depan Metro Pagi sambil nyeruput susu milo buatan Mama, berjingkat-jingkat agar enggak sampe bangunin Anggas kecilku yang masih ngowoh di balik selimut yang begitu melek selalu ditendangnya dengan kaki-kaki gendutnya, naik ke kamar atas mencari kaos kaki yang entah kenapa selalu lupa aku titipkan di lemari abu-abu bawah tangga punya anakku sehingga pas mau pakai sepatu selalu harus naik tangga ke kamar atas lagi untuk mengambilnya, mendengarkan pidato pagi Mama kepada Nurul asisten pribadinya untuk agenda hari itu….
Setiap Sabtu ada sebuah pagi yang indah. Ketika aku berhasil melalui semua rintangan berat itu, dan melangkah dengan sepatu olah raga yang solnya sudah dua kali dilem ibuku sepanjang tiga bulan ini (sudah waktunya diganti, hampir seumur Fara anakku, tapi masih mati-matian dipertahankan oleh ibuku, curiganya agar beliau punya kado istimewa di ultahku bulan depan) menuju jalan aspal mulus komplek yang menyenangkan itu. Tiga dari empat Sabtu dalam sebulan, biasanya dalam 1 menit aku akan kembali ke depan pintu rumah, berteriak pada Fara agar mengambil jam tanganku yang tertinggal yang aku butuhkan untuk hitung 20 menit non-stop waktu lari pagiku.
Setiap Sabtu ada sebuah pagi yang indah. Menghirup udara segar, menyapa satu dua tetangga yang berpapasan yang tidak pernah aku kenal betul namanya, membalas teguran Satpam yang berkeliling, mengamati wajah bayi atau balita yang tergeletak pasrah di kereta dorongnya ditemani baby sitter yang sibuk dengan hp-nya, mengagumi warna2 segar sayur dan berjenis-jenis kerupuk kampung dagangan tukang sayur keliling yang mangkal di dekat pagar komplek, melamunkan semua kejadian sepanjang minggu lalu dan membayangkan semua kejadian serta problem yang mungkin menyertainya sepanjang minggu depan. Hals yang manis, yang nyebelin, mondar-mandir di otakku sementara aku ga bosan-bosannya memandangi daun pohon asem yang berbaris rapi di sepanjang pagar komplek dan …. ups ! aku menabrak sesuatu !
Sebuah kepompong. Dengan ukuran sangat minimalis. Namun setelah aku perhatikan, ternyata ada banyak sekali bergantung2 dengan benang halusnya dari dahan2 pohon asem. Bahkan menempel di sepanjang dinding pagar. Mungkin itu sebabnya Fara sering menemukan kotoran di rambutku setelah lari pagi. Kepompong. Hmmm… Langsung terngiang-ngiang lagu Persahabatan Bagai Kepompong yang beberapa hari ini diputar tiap pagi oleh Pak Toni temen sekantor. Aku suka banget liriknya. Sederhana, manis, dan rada2 Déjà vu buatku, he he ..
Kulihat Anggas menyusulku di kelokan dekat rumah. Kuajak dia melihat sahabat baruku, kepompong2 imut yang bergelantungan struggling for their life di pohon2 itu. Kuminta dia memperhatikan daun2 pohon yang menguning. Karena Senin adalah Idul Adha dan Anggas berkali-kali menyebut term baru ‘Qurban’ tanpa memahami maknanya, kucoba mencontohkan dia sekenanya arti sebuah pengorbanan, dari pohon yang daunnya meranggas di makan ulat. Demi kelangsungan hidup ulat, pohon ikhlas melakukan pengorbanan (matching ga ya, contohnya ? he he …). Kujelaskan bahwa ga semua kepompong itu akhirnya berhasil menjadi kupu-kupu. Lihat saja berapa yang nyangkut di rambut Mama setiap minggu dan hidupnya berakhir di keranjang sampah. Dan celoteh serta khayalan kami terus berlanjut.
“Dari sepuluh, paling cuma lima yang jadi kupu2.”
“Ih, kasian dong.”
“Kira-kira kalau jadi kupu2 semua, gimana ?”
“Komplek akan penuh dengan kupu2 kecil”
“Kita ga bisa buka pintu rumah, karena udara dipenuhi kupu2 kecil dan mereka akan menyerbu masuk begitu pintu dibuka.”
“Kita ga bisa keluar naik mobil, karena jendela mobil akan dihinggapi ribuan kupu2 sampe kita ga bisa liat jalan.”
“Apa sih Ma, binatang pemangsa kupu2 ?”
“Hmmm… Burung kali ya.”
“Kalo gitu kita harus punya burung2an mainan di mobil Ma, jadi kupu2 akan takut melihatnya dan menjauhi mobil kita.”
“Anak pintar.”
“Yes ! Dedek menang… “
Anggas terlihat antusias dan senang bisa solving the problem dengan ide mainan burung2annya. Aku juga senang. Menikmati wajahnya yang bersemu merah karena hangat matahari pagi. Menghapus tetes2 keringat di dahinya ketika wajah curious-nya menatap lekat2 benang2 kepompong yang berkilauan keemasan tertimpa sinar matahari. Kalo dah gini aku ga habis pikir... gimana mungkin Ibrahim sanggup hendak menyembelih Ismail ? (hehe ... that's why you are not chosen as Nabi Yud ...) Beberapa hal yang bisa aku renungkan. Pertama, selalu ada solver buat setiap problem. You’ve gotta believe it. Bahkan pemikiran sederhana seorang Anggas membuktikannya. Kedua, ga semua kepompong bisa mengubah ulat menjadi kupu2. Demikian pula persahabatan. Persahabatan bagai kepompong. Hal yang tak mudah berubah jadi indah. Persahabatan bagai kepompong. Maklumi teman, hadapi perbedaan. After all, aku sungguh berharap, semoga semua kepompong persahabatanku, bisa mengubah ulat menjadi kupu2….. menjadi sesuatu yang indah, sama seperti harapan sekaligus keyakinanku bahwa akan selalu ada sebuah pagi yang indah di setiap Sabtu-ku. Aaaamiiinn ….
Setiap Sabtu ada sebuah pagi yang indah. Ketika aku berhasil melalui semua rintangan berat itu, dan melangkah dengan sepatu olah raga yang solnya sudah dua kali dilem ibuku sepanjang tiga bulan ini (sudah waktunya diganti, hampir seumur Fara anakku, tapi masih mati-matian dipertahankan oleh ibuku, curiganya agar beliau punya kado istimewa di ultahku bulan depan) menuju jalan aspal mulus komplek yang menyenangkan itu. Tiga dari empat Sabtu dalam sebulan, biasanya dalam 1 menit aku akan kembali ke depan pintu rumah, berteriak pada Fara agar mengambil jam tanganku yang tertinggal yang aku butuhkan untuk hitung 20 menit non-stop waktu lari pagiku.
Setiap Sabtu ada sebuah pagi yang indah. Menghirup udara segar, menyapa satu dua tetangga yang berpapasan yang tidak pernah aku kenal betul namanya, membalas teguran Satpam yang berkeliling, mengamati wajah bayi atau balita yang tergeletak pasrah di kereta dorongnya ditemani baby sitter yang sibuk dengan hp-nya, mengagumi warna2 segar sayur dan berjenis-jenis kerupuk kampung dagangan tukang sayur keliling yang mangkal di dekat pagar komplek, melamunkan semua kejadian sepanjang minggu lalu dan membayangkan semua kejadian serta problem yang mungkin menyertainya sepanjang minggu depan. Hals yang manis, yang nyebelin, mondar-mandir di otakku sementara aku ga bosan-bosannya memandangi daun pohon asem yang berbaris rapi di sepanjang pagar komplek dan …. ups ! aku menabrak sesuatu !
Sebuah kepompong. Dengan ukuran sangat minimalis. Namun setelah aku perhatikan, ternyata ada banyak sekali bergantung2 dengan benang halusnya dari dahan2 pohon asem. Bahkan menempel di sepanjang dinding pagar. Mungkin itu sebabnya Fara sering menemukan kotoran di rambutku setelah lari pagi. Kepompong. Hmmm… Langsung terngiang-ngiang lagu Persahabatan Bagai Kepompong yang beberapa hari ini diputar tiap pagi oleh Pak Toni temen sekantor. Aku suka banget liriknya. Sederhana, manis, dan rada2 Déjà vu buatku, he he ..
Kulihat Anggas menyusulku di kelokan dekat rumah. Kuajak dia melihat sahabat baruku, kepompong2 imut yang bergelantungan struggling for their life di pohon2 itu. Kuminta dia memperhatikan daun2 pohon yang menguning. Karena Senin adalah Idul Adha dan Anggas berkali-kali menyebut term baru ‘Qurban’ tanpa memahami maknanya, kucoba mencontohkan dia sekenanya arti sebuah pengorbanan, dari pohon yang daunnya meranggas di makan ulat. Demi kelangsungan hidup ulat, pohon ikhlas melakukan pengorbanan (matching ga ya, contohnya ? he he …). Kujelaskan bahwa ga semua kepompong itu akhirnya berhasil menjadi kupu-kupu. Lihat saja berapa yang nyangkut di rambut Mama setiap minggu dan hidupnya berakhir di keranjang sampah. Dan celoteh serta khayalan kami terus berlanjut.
“Dari sepuluh, paling cuma lima yang jadi kupu2.”
“Ih, kasian dong.”
“Kira-kira kalau jadi kupu2 semua, gimana ?”
“Komplek akan penuh dengan kupu2 kecil”
“Kita ga bisa buka pintu rumah, karena udara dipenuhi kupu2 kecil dan mereka akan menyerbu masuk begitu pintu dibuka.”
“Kita ga bisa keluar naik mobil, karena jendela mobil akan dihinggapi ribuan kupu2 sampe kita ga bisa liat jalan.”
“Apa sih Ma, binatang pemangsa kupu2 ?”
“Hmmm… Burung kali ya.”
“Kalo gitu kita harus punya burung2an mainan di mobil Ma, jadi kupu2 akan takut melihatnya dan menjauhi mobil kita.”
“Anak pintar.”
“Yes ! Dedek menang… “
Anggas terlihat antusias dan senang bisa solving the problem dengan ide mainan burung2annya. Aku juga senang. Menikmati wajahnya yang bersemu merah karena hangat matahari pagi. Menghapus tetes2 keringat di dahinya ketika wajah curious-nya menatap lekat2 benang2 kepompong yang berkilauan keemasan tertimpa sinar matahari. Kalo dah gini aku ga habis pikir... gimana mungkin Ibrahim sanggup hendak menyembelih Ismail ? (hehe ... that's why you are not chosen as Nabi Yud ...) Beberapa hal yang bisa aku renungkan. Pertama, selalu ada solver buat setiap problem. You’ve gotta believe it. Bahkan pemikiran sederhana seorang Anggas membuktikannya. Kedua, ga semua kepompong bisa mengubah ulat menjadi kupu2. Demikian pula persahabatan. Persahabatan bagai kepompong. Hal yang tak mudah berubah jadi indah. Persahabatan bagai kepompong. Maklumi teman, hadapi perbedaan. After all, aku sungguh berharap, semoga semua kepompong persahabatanku, bisa mengubah ulat menjadi kupu2….. menjadi sesuatu yang indah, sama seperti harapan sekaligus keyakinanku bahwa akan selalu ada sebuah pagi yang indah di setiap Sabtu-ku. Aaaamiiinn ….
No comments:
Post a Comment