Wednesday, November 26, 2008

Are you struggling with long distance relationship ?

Ketika aku iseng ketik key word LDR di google…. bah …. yang muncul iklan jualan buku semua … dan kiat2 singkat yang ditawarkan … LOL ! Telpon tiap hari, saying I love you, give surprise… c’mon, gimme a break … cerita lawas yang bikin aku pengen muntah bacanya !
Sembilan tahun dari lebih satu dasawarsa perkawinan kami, kami habiskan dengan separate live. Itu pilihan, tentu saja. Ada pertimbangan, tentu saja. Bukannya tanpa risiko, tentu saja.
Menyesal ? Big No. Banyak yang kami dapat. Buatku, hidup mandiri, menjadi semi single parent, lebih pede, lebih banyak kesempatan untuk evaluasi dan kontemplasi, lebih menghargai dan mensyukuri waktu2 bersama pasangan, lebih bisa menguji apa yg namanya ketulusan cinta, belajar saling percaya, belajar ‘puasa’ (hikikikik …) … dan … kali lebih gampang nyembunyiin tabiat2 serem ataupun yang malu2in dari pasangan …he he …
Buat dia ? "Buanyaaak …!!" teriak teman2 cowokku sering menggoda. Tau sendirilah, laki2 ! Tapi lelaki yang ini beda, Guyz. Dan karena itu aku kagum padanya. Dan aku cinta padanya. Dan aku sayaaaaaang banget padanya ….
Selama ini everything just workout well. Out of sight ga berarti out of mind. Hanya saja, memasuki satu tahun terakhir ini, kami sama2 letih. Gelisah. Sama2 menyadari mulai ada yang hilang. Terutama ribuan hari yang priceless bersama anak2 kami…our cute little angels …
Aku jadi lebih sering menangis di malam2 yang terasa panjang dalam penantianku sampe kedatangannya berikutnya. Kemudian, lack of communicating mulai terasa. Semula aku ada rasa diabaikan dan ga dipercaya. Buset. Kayak aku ga bisa kasih full blanket guarantee scheme ke pasanganku, sehingga dia memilih menyimpan pundi2 kisahnya dan rahasianya ke negara tetangga. Tapi lantas aku ‘ngeh’, pada saat dibutuhkan, kami masing2 punya orang2 lain untuk sharing macam2 hal. Awalnya mungkin hanya sebagai ban serep. Namun karena kondisi lebih instant, lebih mudah, lebih cepat, lebih spontan, bikin kami ga sadar jadi lebih sering memanfaatkannya. Parahnya, ketika ban ini terasa nyaman2 aja dan cukup settled dipakenya, kami mulai menafikan kebutuhan berbagi di antara kami. Fyuh, ga ada yang salah sih. Gimana enggak, kalo masaknya sekarang tapi dimaemnya nungggu 2 minggu lagi, buburnya dah ga anget lagi, ga maknyoss lagi, aromanya dah berubah, dan beberapa bumbu dah kehilangan taste-nya.
Hal2 remeh yang tadinya menjadi kebutuhan, lama2 berubah jadi sekedar kewajiban. Yang tadinya sesuatu yang luar biasa indah, berubah menjadi hal yang standar2 aja. Hoiii … aku masih cewek biasa… Buatku, kebutuhan dibutuhkan, dirindukan, diinginkan tu masih nomor satu Bo ! Ga tau deh, aku sampe di hirarki kebutuhan Maslow yang mana … yang jelas kebutuhan itu pasti berada di atas kebutuhan dasar yaitu makan, minum, dan sex (Ups.. sex ? Are you sure ? he he he …). It’s just … Aku merasa ga menjadi pemegang terbesar heartshare atawa mindshare dari kue kehidupan suamiku. Apa yang bisa dibanggakan dari usia perkawinan bila kita mengalami ‘alienasi’ dari kehidupan perkawinan yang sesungguhnya ? Bahkan perasaan being trapped by a marriage ? Hiiih … horror ga sih ? Next questions mulai menghantui : what are our lives about ? Is it love and emotional support and relating and playing together, or is it the place chosen to grow up the kids and work and the enjoyment of responsibility and ambition and money?
Well, thx God kami menyadarinya sebelum terlambat. Dan walau sekarang impian ngumpul bareng belum terwujud, kami sedang menuju ke sana. Now over 12 million couples worldwide living in long distance relationships due to all sorts of reasons above. Hmmm …. tapi aku, atau kami (mengatasnamakan suamiku), dan atas nama Cinta (Alamaaakk ….), ga menganjurkannya sama sekali. Paling enggak, jangan lama2 please … kata nenek itu berbahaya ….

No comments: